Menyikapi Musuh: Pelajaran Berharga dari Sebuah Permusuhan

Pernahkah kalian memiliki musuh? Atau mungkin merasakan sakit hati karena perkataan mereka? Bagi sebagian besar orang, memiliki musuh adalah hal yang dihindari. Banyak dari kita berusaha menghindari permusuhan dengan bersikap manis kepada orang-orang yang tidak ingin kita jadikan lawan. Bahkan, ada juga yang rela menjadi penjilat demi menghindari konflik. Namun, tak sedikit pula orang yang meskipun tidak berbuat apa-apa, tetap saja memiliki musuh. Orang-orang ini sering dianggap lemah dan mudah dijadikan kambing hitam. Kenyataannya, apa pun yang kita lakukan, permusuhan kadang tak terhindarkan—bahkan dalam lingkup keluarga sekalipun. Yang membedakan hanyalah tingkat dan dampak permusuhan tersebut.

Permusuhan dapat berdampak ringan, seperti sekadar tidak bertegur sapa, atau bisa juga mencapai tingkat yang lebih ekstrem hingga menyentuh nyawa. Namun, apakah permusuhan selalu merugikan? Tidak selalu.

Dalam sebuah hadis sahih disebutkan:

ALLAH telah menurunkan penyakit dan penawarnya, dan Dia telah menentukan setiap penawar untuk setiap penyakit…” (HR. Abu Dawud dari Abu Al-Darda).

Menurut saya, hadis ini memiliki makna yang luas. Jika kita mengandaikan permusuhan sebagai penyakit, maka pelajaran yang bisa kita ambil darinya adalah penawarnya.

Hadis ini sejalan dengan pepatah Tiongkok kuno: “Tidak ada racun yang tidak punya penawar.”

Setiap permusuhan mungkin menimbulkan keresahan dan kegundahan, tetapi di balik setiap permusuhan, selalu ada pelajaran yang dapat dipetik.

Belajar dari Pengalaman

Saya teringat pengalaman saya sendiri ketika pernah bermusuhan dengan seorang sahabat. Awalnya, saya merasa terpuruk dan sakit hati. Namun, dari permusuhan itu, saya justru termotivasi untuk memperbaiki diri. Saya berusaha memperbaiki kesalahan-kesalahan yang telah saya buat, walaupun tidak semuanya bisa saya perbaiki dengan sempurna. Akhirnya, hubungan saya dengan sahabat tersebut membaik, dan saya bahkan mendapatkan hal positif yang sebelumnya tidak pernah saya bayangkan. 

Kadang, permusuhan bisa menjadi bahan evaluasi diri yang sangat berharga.

Musuh: Sahabat Terbaik dalam Mengoreksi Diri

Tidak bisa dipungkiri, musuh adalah sahabat terbaik kita dalam hal kritik. Musuh adalah orang yang paling bersemangat menunjukkan kelemahan kita, mencari-cari kesalahan kita, bahkan mengolok-olok kita. Namun, seperti racun yang dapat diekstrak menjadi obat, kata-kata pedas musuh, jika kita sikapi dengan bijaksana, bisa menjadi bahan evaluasi untuk memperbaiki diri.

Bagaimana dengan sahabat? Mereka adalah tempat berbagi dan pelipur lara, tetapi jarang sekali mereka mengkritik kita secara langsung. Hal ini membuat kita terkadang sulit menyadari kesalahan-kesalahan yang ada dalam diri kita.

Mengambil Pelajaran dari Hinaan

Sebagai contoh, saya pernah berselisih dengan seseorang yang akhirnya menjadi musuh. Orang ini sering menjelek-jelekkan saya, meskipun saya merasa tidak melakukan kesalahan. Salah satu hal yang sering dikritik olehnya adalah cara saya memasak.

Jika kita menganggap permusuhan ini sebagai racun, maka dari “racun” ini kita bisa mengekstrak pelajaran yang bermanfaat, seperti:

1. Menghindari perselisihan agar tidak menciptakan musuh.

2. Jika dalam memasak contohnya, karena cara memasak saya dikritik, saya menjadi termotivasi untuk terus belajar dan menyempurnakan teknik memasak saya.

Bagaimana jika tetap dihina? Seperti kuda yang terus dipacu dengan cambuk agar berlari lebih cepat, hinaan dapat kita jadikan dorongan untuk terus memperbaiki diri. Jika masih dihina, evaluasi lagi, dan jangan pernah cepat berpuas diri.

Bagaimana jika fisik kita yang dihina? Maka tunjukkan kelebihan lain yang kita miliki, sehingga keunggulan tersebut dapat menutupi kekurangan fisik kita.

Menerima Kehadiran Musuh

Dulu, saya juga takut memiliki musuh. Saya merasa ciut dan menyesal setiap kali menghadapi mereka. Namun, seiring waktu, saya belajar mengambil pelajaran dari hinaan-hinaan musuh dan mencoba melihat sisi positif dari setiap permusuhan yang saya alami.

Namun, perlu diingat, jangan pernah sengaja mencari musuh. Musuh akan datang sendiri tanpa perlu kita undang. Musuh adalah bagian dari roda kehidupan yang tak terhindarkan. Bersyukurlah, karena setiap racun yang hadir, selalu ada penawarnya yang bisa kita temukan—jika kita cukup besar hati untuk mengevaluasi diri.


---


*Ahmad Endry Husein*  

26 September 2016

Comments

Popular posts from this blog

Bahasa Berau Asli (Banua) di Ambang Kepunahan.

Kamus Bahasa Berau, Apakah Cukup Mempertahankan Bahasa Ini Dari Kepunahan?