Kamus Bahasa Berau, Apakah Cukup Mempertahankan Bahasa Ini Dari Kepunahan?

Beberapa waktu lalu, saya menemukan sebuah e-book berjudul Kamus Bahasa Barrau karya M. Basyara. Penemuan ini terjadi ketika saya tengah menelusuri kembali jejak budaya Berau, tanah kelahiran kita yang kaya namun perlahan tergerus arus zaman. Temuan ini sontak menggugah kembali kegelisahan saya yang sebelumnya sudah saya tulis dalam artikel berjudul Bahasa Berau: Antara Identitas dan Kelupaan. Jika kalian belum sempat membacanya, saya sarankan untuk membacanya terlebih dahulu agar tulisan ini terasa lebih utuh.Kamus Bahasa Barrau diterbitkan pada tahun 2023. Yang membuat saya terkejut, saya sama sekali tidak mengetahui keberadaan kamus ini sebelumnya. Bisa jadi saya yang kurang aktif mencari informasi ke perpustakaan, tetapi apakah hanya saya yang luput? Bagaimana dengan Perpustakaan Daerah, Dinas Pendidikan, Dinas Kebudayaan, atau bahkan pihak Pemerintah Kabupaten Berau sendiri? Mengapa tidak ada promosi atau publikasi terkait keberadaan kamus penting ini?Saya memahami bahwa menerbitkan kamus ini adalah langkah awal yang sangat baik dalam upaya pelestarian bahasa daerah. Namun, langkah ini terasa belum cukup. Belum menyentuh akar persoalan yang sebenarnya. Bahasa bukan hanya sekumpulan kosakata dalam sebuah buku—bahasa adalah identitas, jiwa kolektif, dan warisan yang hidup.Dalam bagian "Seuntai Kata Pengantar" di halaman ix, saya membaca sebuah kalimat yang menyentuh hati sekaligus menyesakkan:"Kumpulan kosa kata ini, kata demi kata diartikan (terjemah) ke dalam bahasa Indonesia, agar mudah dipahami, walau bahasa ini nantinya telah punah atau tidak terpakai lagi oleh penuturnya (masyarakat Berau)."Kalimat ini seolah menjadi sebuah bentuk keputusasaan. Seakan almarhum Pak Muhammad Basyara telah memprediksi bahwa Bahasa Berau memang akan punah, dan tak ada jalan lain selain mendokumentasikannya sebelum benar-benar lenyap. Ironis, bukan? Sebuah bahasa daerah yang memiliki sejarah panjang dan kosakata yang kaya justru didokumentasikan bukan untuk digunakan, tetapi untuk dikenang setelah punah.Pak Basyara menulis bahwa kamus ini diharapkan menjadi sebuah pengingat. Namun, apakah cukup hanya menjadi pengingat? Apakah prediksi suram beliau harus diterima begitu saja tanpa perlawanan? Di mana peran pemerintah daerah? Apakah kepasrahan ini menjadi alasan untuk berdiam diri?Saya percaya bahwa bahasa daerah adalah bagian dari kekayaan budaya nasional yang harus dilestarikan. Pemerintah Kabupaten Berau, melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, seharusnya mengambil langkah strategis. Salah satu langkah paling konkret adalah memasukkan Bahasa Berau sebagai muatan lokal wajib di sekolah-sekolah dasar dan menengah di wilayah Berau, terlepas dari latar belakang suku dan etnis siswa-siswinya.Kita bisa belajar dari daerah lain di Indonesia, seperti di Pulau Jawa, di mana muatan lokal bahasa daerah menjadi bagian tak terpisahkan dari sistem pendidikan. Hasilnya? Bahasa daerah tetap hidup, digunakan, dan dibanggakan oleh generasi mudanya.Bahasa Berau pun layak mendapat kesempatan yang sama. Terlebih, kamus yang telah diterbitkan ini menunjukkan bahwa Bahasa Berau memiliki struktur dan kosakata yang cukup kaya, modal awal yang sangat kuat untuk dijadikan bahan ajar. Tidak perlu setiap hari, cukup satu kali seminggu sebagaimana muatan lokal lainnya.Saya sadar, mungkin tulisan ini tidak akan sampai ke meja para pemangku kebijakan. Tapi harapan saya tetap ada. Semangat pelestarian ini tidak boleh mati bersama kepergian Pak Basyara. Justru, semangat beliau harus diteruskan, oleh kita, dan lebih-lebih oleh mereka yang memiliki kekuasaan dan kewenangan untuk membuat kebijakan.Bahasa adalah identitas. Jangan biarkan identitas Berau hanya tinggal kenangan.
Comments
Post a Comment