Si Orange Yang Bandel
1 Minggu yang Lalu (17/07/12)
Setiba di Bandara Soekarno-Hatta, saya langsung menuju Hotel Acacia untuk mengunjungi om saya. Om yang sedang mengurus keperluan bisnisnya menahan saya selama dua hari untuk menikmati Jakarta. Ditemani hiruk-pikuk kemacetan kota, saya pergi menggunakan taksi Blue Bird menuju hotel Acacia.
Cuaca Jakarta saat itu cukup panas. Sesekali mata saya tertuju pada argo si burung biru yang bergerak dengan tarif Rp. 300 per kilometer. Pergerakan argo yang tidak masuk akal tersebut membuat hati saya cemas. Bukan tanpa alasan, karena budget di dompet saya berteriak untuk mengingatkan agar saya menghemat pengeluaran. Selama perjalanan, sang sopir sesekali mengajak saya berbicara, membicarakan banyak hal mengenai dunia pertaksian. Saya yang tidak terlalu paham dengan apa yang ia katakan hanya mengangguk dan sesekali merespons dengan kata-kata seadanya.
Tak terasa, perjalanan menuju Acacia sudah hampir 1,5 jam. Sang sopir, yang kira-kira berusia 30-an, sudah diam seribu bahasa. Perjalanan yang seharusnya hanya memakan waktu 45 menit ini terasa sangat lama karena macetnya Jakarta.
Saya yang mulai merasa mengantuk, tiba-tiba tersentak ketika melihat sebuah kendaraan berwarna oranye—si boncel brisik. Kendaraan yang sudah lama tidak saya lihat di televisi. Itulah Bajaj. Terparkir dengan angkuhnya di tepi jalan, seolah membuktikan bahwa dirinya masih eksis meskipun pemerintah sudah melarangnya beroperasi. Saya yang kebingungan pun kemudian bertanya kepada sopir taksi Blue Bird, mengapa bajaj masih beroperasi di Jakarta.
"Tau sama tau aja lah, mas. Peraturan dibuat untuk dilanggar. Bajaj ini memang kontroversial. Ada yang setuju, ada yang nggak setuju dengan operasionalnya. Jadi, ya kita lihat saja apa yang mereka lakukan. Namanya juga cari makan, mas, mau gimana lagi? Toh polisi juga anteng-anteng aja," jawab sopir itu.
Tak terasa, sudah dua jam saya melewati perjalanan di dalam taksi. Akhirnya, saya tiba di Hotel Acacia. Argo si burung biru menunjukkan angka Rp. 110.000—harga yang harus saya bayar untuk menginap gratis di Acacia. Saya rasa, harga tersebut pantas mengingat pelayanan hotel yang cukup baik, yang saya rasakan sesampainya di kamar. Handuk yang selalu bersih, sarapan pagi gratis, dan pelayanan lainnya.
Malamnya, setelah makan malam dengan om saya, kami berencana pergi ke mall di sekitar hotel Acacia. Untuk pertama kalinya, saya menaiki Bajaj. Suara mesinnya yang berisik memekakkan telinga saya. Ada rasa senang sekaligus kesal karena hal itu. Dalam hati saya, suara mesin Bajaj ini lebih berisik daripada suara ketinting yang pernah saya naiki di Kalimantan.
Si sopir Bajaj kami ajak berbicara mengenai pemilihan gubernur sepanjang perjalanan. Sebenarnya, saya ingin bertanya tentang larangan pengoperasian Bajaj di Jakarta kepada sopir tersebut. Namun, saya urungkan niat itu, karena takut kalau-kalau ia menaikkan ongkos perjalanan.
Kami pun sampai di salah satu mall di Jakarta. Setelah puas berkeliling, kami segera pulang. Kami menaiki Bajaj lagi, kali ini yang berwarna biru. Suara mesin biru lebih halus dibandingkan dengan yang oranye. Tak ada suara ledakan yang memekakkan telinga. Saya pun bertanya kepada sopir Bajaj tentang bahan bakar dan mesin si biru. Saya mendapati bahwa si biru menggunakan dua tangki. Tangki pertama untuk gas, dan yang kedua untuk premium. Awalnya, Bajaj biru hanya menggunakan tangki gas saja. Namun, karena sering terjadi ledakan akibat tangki gas, dibuatlah tangki tambahan untuk premium agar tidak terjadi kecelakaan yang serupa. Hingga kini, kebanyakan Bajaj biru di Jakarta menggunakan tangki premium saja.
Semua ini membuat rasa penasaran saya semakin membesar. Saya pun berpikir, mengapa pemerintah Jakarta tidak berani menyiarkan permasalahan Bajaj ini di televisi? Apakah ini bagian dari pencitraan palsu Jakarta di mata orang-orang luar kota?
Jakarta yang sudah penuh dengan polusi semakin bertambah dengan kehadiran Bajaj yang mengeluarkan asap. Ketidakkonsistenan pemerintah daerah Jakarta dalam penerapan perda mungkin menjadi salah satu alasan mengapa si oranye masih beroperasi. Kongkalikong dengan polisi pun mungkin tak bisa dihindari. Ya, mungkin benar kata sopir Blue Bird tadi, "Namanya juga cari makan, mas." Kalau sudah menyangkut perut, peduli amat dengan peraturan. Ini masalah hidup dan mati, bung!
Si oranye begitu bandel, sementara pemerintah daerah sibuk mengurusi masalah rumah tangganya. Akibatnya, si oranye semakin bandel karena tak ada yang mengawasi.
Comments
Post a Comment