Sweet Scene Part : 1
Kurang lebih sudah tiga minggu sejak kejadian bersejarah itu. Saya maju dan menawarkan diri untuk menjadi pendampingnya. Hingga orang-orang di sekitar saya pun bertanya-tanya, "Pernikahan itu bukan hanya soal cinta, tapi juga membutuhkan banyak penunjang lainnya. Apa yang telah kamu persiapkan?"
Jawaban dalam hati saya, "Cinta, ketertarikan, rasa sayang, penantian, keyakinan, keinginan untuk menyempurnakan ibadah, sebuah rumah untuk berteduh, blue print usaha yang sedang dibangun untuk investasi jangka panjang keluarga, harapan agar kita bisa membangun kehidupan bersama, biarkan saya menjadi tempat bersandarmu ketika kelak orangtuamu tak ada lagi, biarkan saya menjadi orang terakhir yang menemanimu saat anak-anak kita sudah bersama keluarga mereka masing-masing. Saat kamu sendiri, ada saya yang menemani."
Jawaban yang terucap dari mulut saya, "Selain rasa tertarik pada dia, ada keinginan untuk menyempurnakan ibadah, sebuah rumah untuk berteduh, dan jaminan bahwa dia tidak akan kelaparan."
Singkat cerita, legenda ini tercurah dalam sebuah bingkai pengharapan. Sebuah bingkai kepasrahan kepada Allah. Yang Maha Penyayang dan Maha Membolak-balikkan hati.
Semua tercurah pada hari itu, di restoran cepat saji itu. Kata-kata sudah disusun serapi mungkin, namun yang keluar dari mulut adalah kata-kata lain—kata-kata yang pada pengucapannya terkesan berantakan, namun langsung menuju ke titiknya: sebuah pernikahan.
Untuk apa menunggu berlama-lama? Karena saya serius, maka saya maju untuk melamarnya. Saya tak perlu bujuk rayu, tak perlu hadiah, tak perlu mengobral janji. Saya tak perlu menunggu lama untuk memutuskan apakah akan melamarnya atau menunggu lagi di kemudian hari. Saya tak perlu mencoba-coba berhubungan dengan orang lain sekadar untuk mencoba melupakan dia, sementara hati ini terpaku pada sosok yang tak terhapuskan semenjak pertama kali saya melihatnya. Dia yang Allah Swt. ciptakan begitu baik.
Walau...
Dalam prosesnya, hati ini terombang-ambing hanya untuk sesosok manusia yang tak bisa dihapus dari pikiran.
Tiga bulan adalah waktu yang saya butuhkan untuk berpikir matang-matang. Memikirkan kejadian-kejadian yang terjadi dengan orang-orang yang meninggalkan saya dalam ketidakberanian saya mengkhitbah setiap wanita yang saya sukai. Semuanya menikah sebelum saya sempat bersenandung kepada orang tua mereka, "I may not be the best man in the world, but I love your daughter. She's everything to me. I promise to take care of her until the end of my life. I want to marry your daughter."
Akhirnya, meski tidak langsung ke orang tuanya, saya mengucapkan khitbah itu di depan wanita tersebut. Namun, tak bersambut, karena tak ada perasaan darinya. Ini seperti berdiri dengan satu kaki. Indah di satu sisi, kosong di sisi lainnya.
Biarlah diri ini mencoba mengisi sisi yang kosong itu.
Yang perlu disyukuri adalah, Allah Maha Besar. Dia mendengar doa saya waktu itu, untuk tidak mengulangi kesalahan di masa lalu. Allah menghilangkan sikap pengecut saya untuk hanya sekadar menjadi secret admirer.
-Sweet Scene-
Comments
Post a Comment