Kasep Mata Bag : 1

Seandainya Cinta Itu Tak Muncul

Seandainya cinta itu tak pernah muncul, mungkin Ashlam tak akan menderita seperti ini. Dirinya terjebak dalam neraka kegundahan, sebuah penyesalan yang tak kunjung usai.

Dadanya terasa terbakar, dan ia terus bertanya-tanya, "Apa seharusnya aku tidak bertemu dengan Evelin?" Wanita yang membuatnya tak bisa tidur, bahkan berpikir dengan tenang.

Semua ini bermula tiga tahun lalu, ketika Ashlam, seorang anak petani asal Magelang, pertama kali menginjakkan kaki di SMA. Ia merantau ke Jakarta dan tinggal bersama tantenya, melanjutkan pendidikan di SMA 32, salah satu sekolah favorit di ibu kota.

"Tujuanku adalah untuk belajar. Maka aku harus belajar! Say no to cinta-cintaan!" tekadnya dalam hati.

Dengan sepeda ontelnya yang sudah mulai tua, Ashlam berangkat menuju sekolah. Pakaiannya yang lusuh dan celananya yang lebar menunjukkan bahwa ia bukanlah anak orang kaya. Bajunya pun hanya pemberian dari ayahnya.

Sesampainya di SMA 32, Ashlam langsung merasakan perbedaan yang mencolok. SMA ini adalah sekolah elit, hampir semua siswanya memiliki kendaraan pribadi yang mewah. Hanya Ashlam yang datang dengan sepeda. Tak ayal, seluruh mata tertuju padanya, menganggapnya seperti orang desa yang tak pantas berada di tempat itu. Namun, Ashlam tak peduli. Ia terus mengayuh sepedanya menuju parkiran motor dengan ceria. Sepedanya ia kunci di pohon dengan rantai, lalu ia berjalan menuju kelas.

Ashlam bersekolah di SMA 32 karena kehendak ayahnya. Ayahnya adalah seorang yang keras dan tidak ingin anak-anaknya hidup dalam kemiskinan seperti dirinya. Untuk itu, ayah Ashlam rela menjual sawah satu-satunya demi menyekolahkan Ashlam di Jakarta.

Tak lama setelah bel berbunyi keras, Ashlam masuk ke kelas X4. Begitu ia memasuki kelas, seluruh mata tertuju padanya. Salah seorang anak di kelas itu berseru, "Anjir... ada pemulung..." sambil melontarkan pandangan sinis ke arah Ashlam.

Seketika, seluruh kelas tertawa terbahak-bahak. Namun, Ashlam tidak peduli. Ia segera duduk di barisan paling depan. Baginya, cibiran itu hanyalah angin lalu yang tak perlu dihiraukan.

Setelah duduk nyaman, ia mengeluarkan buku lusuh yang terbuat dari sisa-sisa kertas A4 yang sudah tak terpakai lagi, yang disatukan dengan penjepit binder sederhana. Teman-teman di kelasnya hanya bisa memandang Ashlam dengan heran.

Tidak lama kemudian, seorang guru wanita masuk, dan pelajaran pun dimulai.

Kelas berakhir sekitar pukul 2:40 siang. Ashlam segera bergegas keluar, tak ingin berlama-lama di kelas. Saat hendak menuju pintu, ia tak sengaja menabrak seorang wanita, Evelin namanya, hingga membuat Evelin terjatuh dan mendarat tepat di pantatnya.

"Aww... sakit tau! Mata lu picek ya?" tanya Evelin dengan kesal.

Ashlam tidak menjawab. Ia hanya menarik tangan Evelin untuk membantunya berdiri, membersihkan bajunya, lalu pergi begitu saja.

Evelin menatap Ashlam dengan rasa penasaran. Namun, ia segera mengusir perasaan itu.

"Cika, lu tau nggak anak itu siapa?" tanya Evelin pada sahabatnya.

"Yang mana? Anak dekil yang nabrak lo tadi?" jawab Cika balik.

"Ih apaan sih Cik? Kalau nggak tau, nggak usah nyinggung!" jawab Evelin kesal.

"Ok, fine... Gue rasa gue nggak perlu jawab. Lagipula, tuh anak juga nggak penting buat dicari tau siapa dia. Udah lupain aja. Yuuk, pulang sekarang," ajak Cika buru-buru.

Evelin tidak banyak bicara. Ia bergegas menuju mobilnya, namun rasa penasaran pada sosok Ashlam tetap menggelayuti pikirannya.

Bersambung...

Comments

Popular posts from this blog

Bahasa Berau Asli (Banua) di Ambang Kepunahan.

Kamus Bahasa Berau, Apakah Cukup Mempertahankan Bahasa Ini Dari Kepunahan?

Menyikapi Musuh: Pelajaran Berharga dari Sebuah Permusuhan