Kasep Mata Bagian : Akhir

Ashlam bertanya-tanya dalam hatinya, ada apakah gerangan? Ia tahu bahwa ia berhak mendapatkan jawaban, namun ia memilih untuk pergi merenung, mencari jawabannya sendiri.

Empat belas hari telah berlalu sejak kejadian misterius di pasar itu. Ashlam mulai mempertanyakan dirinya, di manakah Evelin? Haruskah ia terus dihantui oleh bayangannya dalam alam bawah sadar ini? Ia terus bertanya-tanya, namun tidak ada satu pun jawaban yang ia temukan. Hanya tanda tanya yang terus mengganggu pikirannya—kosong.

Empat belas hari kemudian, tidak ada yang berubah. Satu-satunya hal yang tampak berbeda adalah teman-teman Evelin yang semakin bungkam. Mulut mereka terkunci rapat, bahkan menatap Ashlam pun mereka tak sanggup.

"Lam..." Ujar Vino, salah satu teman sekelas Evelin dan Ashlam, sambil menepuk bahu Ashlam yang sedang mengerjakan tugas Matematika.

Ashlam menoleh sebentar, lalu kembali fokus pada tugasnya, "Oh, kamu Vino, ada apa?"

"Gue khawatir sama lu, nilai-nilai lu jatuh."

"Saya sedikit pusing. Ada masalah keluarga."

"Lu bohong, Lam. Gue tahu nilai lu jatuh karena Evelin hilang, kan?"

Tiba-tiba Ashlam bangkit dan menggebrak meja dengan keras. "Eh! Vino! Apa urusan kamu!? Jangan sebut-sebut nama Evelin lagi!" Tanpa berkata apa-apa lagi, ia berlalu keluar meninggalkan kelas.

Suasana kelas langsung menjadi sunyi. Tidak ada yang mengejar Ashlam, tidak ada yang mencoba menenangkannya. Mereka tahu betul apa yang sedang Ashlam rasakan.

Ashlam berlari menuju taman sekolah dan duduk di atas kursi kayu, memandangi kolam yang dipenuhi bunga teratai. Perlahan, pikirannya kembali tertuju pada Evelin. Ia ingin melupakan Evelin, namun gejolak perasaan di dalam dirinya tak bisa ia tahan.

Ashlam berdiri, kemudian berlari mengambil tasnya dan bergegas meninggalkan sekolah. Teman-temannya tak ada yang menghentikannya. Ia berlari cepat menuju tempat sepedanya dan mengayuhnya menuju rumah Evelin. Ia tahu alamatnya dari seorang sahabat Evelin.

Sesampainya di rumah Evelin, pagar besar dari iron wood menghalanginya. Namun, ia memberanikan diri menekan bel yang terpasang di dinding beton samping pagar itu. Tak lama kemudian, seorang lelaki tua keluar dan bertanya pada Ashlam, "Cari siapa, dek?"

"Evelin ada, Pak?" Ashlam bertanya dengan gugup.

"Loh, mas siapanya mbak Evelin?" tanya lelaki tua itu keheranan.

"Saya temannya, Pak." Jawab Ashlam dengan ragu.

"Loh, kok temannya nggak tahu kalau mbak Evelin sudah wafat?"

Seperti tersambar petir, Ashlam terdiam sejenak, lalu dengan gemetar bertanya, "Maksud Bapak?"

"Mbak Evelin wafat karena kanker paru-paru, mas."

"Jadi... Evelin?"

"Dia sudah dimakamkan di pemakaman kompleks depan, mas."

Tanpa berkata apa-apa lagi, Ashlam bergegas meninggalkan lelaki tua itu dan mengayuh sepedanya menuju pemakaman yang disebutkan.

Setibanya di sana, ia mencari-cari nisan Evelin, hingga akhirnya menemukannya di sisi barat pemakaman. Nisan itu dipahat dengan rapi, dengan tulisan:
EVELINDIA SHAKI (1987-2003)

Air mata Ashlam mulai menetes, tak bisa dibendung lagi. Ia tertunduk lemas di depan nisan Evelin. Jantungnya berdegup kencang, jiwanya melemah, dan hatinya hancur.

Tiba-tiba, seseorang menjulurkan secarik kertas kepada Ashlam. Ia melihat kertas itu, lalu melirik ke belakang. Ternyata itu adalah Viona, salah satu sahabat Evelin.

"Lam, ini ada surat untuk kamu."

"Surat apa ini?" tanya Ashlam dengan penuh kebingungan.

"Dari Evelin."

Dengan cepat, Ashlam mengambil surat itu dari tangan Viona dan mulai membacanya.

Dear Ashlam,

"Sungguh aku tak dapat menutupi perasaanku. Sejak pertemuan pertama kita di sekolah, aku merasakan perasaan yang tak biasa. Kamu berbeda, Ashlam. Kamu tidak mengejarku seperti pria lain. Kamu yang membuatku mengejarmu.

Ashlam, hidupku tak lama lagi, tapi kau telah berubah. Aku sebenarnya ingin memberitahumu saat masuk sekolah. Aku ingin bercerita banyak, aku ingin menghabiskan waktu bersamamu, tapi kau menjauh.

Terima kasih untuk perkenalan kita, Ashlam. Aku mencintaimu."

Evelin

Air mata Ashlam mengalir deras saat membaca surat itu. Tak dapat menahan kesedihannya, ia menangis terisak-isak.

Sejak saat itu, Ashlam mendapat pelajaran berharga: menghargai setiap detik waktu bersama orang yang kita sayangi jauh lebih berarti daripada menyimpan perasaan dalam ego. Jika ada seseorang yang kita cintai, lebih baik mengungkapkannya daripada menjadi secret admirer. Kita tidak pernah tahu kapan waktu kita akan habis. Maka, hargailah orang-orang yang menyayangi kita, sebelum semuanya terlambat.

- Tamat -

Comments

Popular posts from this blog

Bahasa Berau Asli (Banua) di Ambang Kepunahan.

Kamus Bahasa Berau, Apakah Cukup Mempertahankan Bahasa Ini Dari Kepunahan?

Menyikapi Musuh: Pelajaran Berharga dari Sebuah Permusuhan