Dikotomi Pemilihan Pemimpin : Evolusi atau Degradasi Demokrasi?

 

Pilkada adalah puncak dari pesta demokrasi di setiap daerah. Suara-suara yang berkecamuk menjadi simbol dari harapan rakyat. Di sini, mereka dihadapkan pada pilihan-pilihan yang bisa membawa kesejahteraan atau malah memberi peluang bagi segelintir orang untuk mengejar harta dan tahta. Dari pertempuran ini, muncul dua sisi: orang-orang yang jujur dan mereka yang lalim.

Daerah saya pun menjadi salah satu tempat penyelenggaraan pilkada. Pilkada yang digelar pada 9 Desember 2015 ini mempertemukan dua nama, dari sekian banyak calon yang sebelumnya ikut meramaikan proses pencalonan. Pilkada di Berau berlangsung cukup panas, namun bukan karena panasnya terik matahari yang menyengat kota kecil ini, dan bukan pula karena kerusuhan yang memakan banyak korban jiwa. Sebaliknya, ketegangan muncul dari perang urat saraf yang terjadi antara tim sukses pasangan nomor urut 1 dan nomor urut 2.

Pertarungan yang memanas ini dipicu oleh beberapa faktor. Salah satunya adalah fakta bahwa hanya ada dua pasangan calon, membuat pilihan seakan terbatas, dan menciptakan polarisasi yang membelah masyarakat menjadi dua kubu. Akibatnya, hubungan antar keluarga bisa berubah menjadi permusuhan, dan musuh lama pun menjadi teman, hanya karena satu alasan: beda pilihan politik.

Jika kita melihatnya lebih luas, ketegangan dalam pilkada ini bukanlah hal yang baru. Hawa panas dalam pemilihan umum telah terasa sejak pilpres di Jakarta, di mana kita menyaksikan pertarungan antara capres berbadan cekung dan capres berbadan gemuk. Salah satunya seorang tukang kayu, sementara yang satunya lagi seorang tukang senjata. Hasilnya tak jauh beda dengan pilkada yang saya ceritakan. Pembagian masyarakat ke dalam dua kelompok yang saling bertentangan, atau yang dalam istilah yang lebih keren disebut dikotomi. Dikotomi ini akhirnya memunculkan pergesekan, baik di dunia nyata maupun dunia maya. Saling cacian, hinaan, bahkan kebencian mewarnai setiap sudut percakapan. Beberapa berlagak sok suci, menjadi penengah yang mencoba menenangkan, sementara yang lain dengan gegap gempita memuji idolanya, tanpa memperdulikan cacian dari kubu seberang.

Lalu, pertanyaan yang muncul adalah: Jika demokrasi adalah bentuk evolusi sosial dan politik, mengapa pelakunya tidak mengalami evolusi?

Kita tahu, salah satu efek dari pemilu dalam sistem demokrasi yang dibanggakan oleh mereka yang merasa diri mereka lebih maju dalam pikiran dan hati, adalah lepasnya belenggu Orde Baru. Tak ada lagi tiga partai yang menguasai, tak ada lagi presiden yang terpilih berturut-turut. Pada masa awal reformasi, ketika demokrasi begitu diagungkan, jumlah partai dan calon presiden pun membeludak. Tak ada lagi capres tunggal seperti zaman The Smiling General. Namun, seiring berjalannya waktu, orang-orang tampaknya semakin takut. Semakin banyak pilihan, semakin banyak kemungkinan yang harus dihadapi. Bukankah kita harus mengingat sebuah akronim, JASMERAH—jangan sekali-kali melupakan sejarah?

Setelah era reformasi, terpilihlah presiden-presiden dengan janji-janji manis mereka. Namun, kelemahan dan ketidaktegasan mereka justru meruntuhkan struktur Pancasila yang telah susah payah dibangun oleh para pemuda. Ironisnya, mereka yang meruntuhkan adalah orang-orang yang dipercaya oleh rakyat yang memilihnya. Semakin banyak pilihan, semakin banyak pula kemungkinan yang terjadi.

Pada akhirnya, dalam setiap pemilu, hanya ada dua calon terkuat yang bersaing. Namun, dua pilihan inilah yang justru menciptakan dikotomi. Evolusi demokrasi berubah menjadi degradasi, hanya karena perilaku pemilih yang seperti kera. Mereka berteriak-teriak sambil melempar pisang. Setelah kera-kera ini memenangkan pilihannya, mereka kembali berteriak-teriak mendukung raja kera yang mereka perjuangkan, berharap mendapatkan pisang yang telah dilempar. Namun, tak semua orang bersikap seperti kera. Ada juga mereka yang tulus memperjuangkan pilihannya, karena mereka tahu apa yang mereka lakukan dan tidak bisa disebut sebagai kera.

Tahukah kalian tentang teori Einstein yang sering dianggap penuh omong kosong? Jika itu tidak sepenuhnya omong kosong, seharusnya bukanlah sebuah teori evolusi, melainkan sebuah teori degradasi. Bukan dalam konteks fisik, tetapi dalam hal moralitas politik.

Comments

Popular posts from this blog

Bahasa Berau Asli (Banua) di Ambang Kepunahan.

Kamus Bahasa Berau, Apakah Cukup Mempertahankan Bahasa Ini Dari Kepunahan?

Menyikapi Musuh: Pelajaran Berharga dari Sebuah Permusuhan