Putra Daerah Dikhianati Perusahaan Swasta



Hidup di kota kecil, setiap sudutnya diisi oleh lalu-lalang para pekerja dari luar daerah. Di setiap bangunan perkantoran swasta, hanya sebagian kecil staf junior yang memahami bahasa daerah setempat. Awalnya, hal ini tidak terlalu mengganggu bagi saya; seolah hanya perkara kecil yang tidak banyak berpengaruh. Mereka hanyalah bagian dari program transmigrasi. Namun, tanpa saya sadari, program transmigrasi ini telah membawa kota tercinta saya ke dalam krisis lapangan kerja bagi warga lokal. Tidak jarang, putra daerah yang memiliki potensi di sektor-sektor tertentu di perusahaan besar, seperti tambang dan perkebunan sawit, harus merantau jauh ke kota lain untuk mencari pekerjaan. Ya, mereka seperti dikhianati oleh kota kelahiran mereka sendiri.

Rika Erawati, salah seorang anggota tim penyusun Naskah Akademik (NA) Universitas Mulawarman, dalam penelitiannya pada tahun 2017 tentang ketenagakerjaan, mempresentasikan temuannya di depan anggota DPRD Berau. Rika menemukan bahwa 90% pemangku kepentingan mengakui bahwa mereka merekrut Sumber Daya Manusia (SDM) dari luar daerah. Ini membuktikan bahwa tingkat penyerapan putra daerah Berau hanya 10%. Angka 10% ini sangat kecil, terutama jika dibandingkan dengan daerah lain di mana perusahaan swasta diwajibkan menyerap 75-80% tenaga kerja lokal.

Jurang yang lebar dalam perekrutan tenaga kerja lokal dan luar daerah menimbulkan dampak yang kurang nyaman, terutama bagi pencari kerja lokal. Putra daerah yang memiliki potensi dan semangat besar untuk bekerja, tetapi terkendala oleh biaya pendidikan, kehilangan kesempatan untuk berkembang. Akibatnya, banyak pencari kerja lokal yang terpaksa meninggalkan kota kelahiran mereka karena tidak ada perusahaan yang mau menerima mereka. Mereka meninggalkan keluarga dan sahabat tercinta, namun di luar daerah pun sering kali nasib mereka tak menentu, tak segera mendapat pekerjaan yang diharapkan.

Pernah suatu ketika, saat saya sedang menjaga outlet, seorang pembeli yang merupakan eksekutif penjualan dari salah satu perusahaan travel terbesar di Indonesia, bercerita bahwa ia telah ditawari pekerjaan oleh seorang manajer umum di perusahaan tambang besar di Berau, Kalimantan Timur, yang juga merupakan kota kelahiran saya. Miris rasanya, bagaimana bisa, di saat pencari kerja lokal kesulitan mendapatkan pekerjaan di tanah kelahirannya, justru pekerjaan itu diberikan dengan mudah kepada pekerja dari luar daerah? Di lain waktu, ketika berjalan-jalan di pusat kota, saya bertemu dengan orang-orang yang berbicara dengan logat asing dan bertanya tentang keadaan di Berau karena baru saja diterima bekerja di salah satu perusahaan tambang terbesar di kota ini. Pertanyaannya, bagaimana mungkin orang luar semakin banyak, sementara sahabat-sahabat kita yang baru lulus sekolah atau perguruan tinggi masih bergulung-gulung di rumah tanpa pekerjaan?

Saya memahami bahwa perusahaan mungkin merekrut tenaga kerja luar daerah karena kurangnya keterampilan (soft skill dan hard skill) pada pekerja lokal. Tetapi, ini bukan alasan yang kuat, mengingat kebijakan perekrutan pada level-level tertentu masih cukup fleksibel. Para pengambil keputusan di perusahaan swasta ini adalah orang-orang pandai dengan pendidikan tinggi. Rasanya tidak mungkin mereka tidak memiliki solusi atas masalah seperti ini.

Seandainya perusahaan-perusahaan ini lebih sering memberikan pelatihan gratis kepada pekerja lokal agar memenuhi standar kualifikasi kerja di tingkat administrasi atau mekanik, saya yakin mereka tidak perlu merekrut tenaga kerja luar daerah dengan gaji yang tinggi. Mereka bisa memberdayakan pekerja lokal lebih banyak dengan gaji yang sedikit lebih rendah. Kalaupun memang perlu merekrut pekerja dari luar daerah, tempatkan mereka pada posisi instruktur, manajer, supervisor, atau HRD. Tidak mungkin sampai untuk posisi staf administrasi yang hanya perlu input data, fotokopi berkas, menjawab telepon, atau tugas kecil lainnya, perusahaan harus merekrut pekerja dari luar daerah.

Perusahaan swasta bukan hanya harapan besar bagi putra daerah untuk memperoleh penghasilan layak, tetapi juga sebagai wadah bagi para pemangku kepentingan untuk mendapatkan profit dari bisnis yang mereka jalankan. Karena itu, alangkah baiknya jika kedua hal ini dapat berjalan harmonis. Putra daerah mendapatkan haknya untuk bekerja di perusahaan swasta yang beroperasi di tanah kelahiran mereka, sementara para pemangku kepentingan dapat menjalankan bisnis mereka dengan tenang serta menjaga hubungan sosial yang baik dengan masyarakat setempat.


===   


Selanjutnya: Program Magang Senior, Inovasi Atau Blunder?



Comments

Popular posts from this blog

Bahasa Berau Asli (Banua) di Ambang Kepunahan.

Kamus Bahasa Berau, Apakah Cukup Mempertahankan Bahasa Ini Dari Kepunahan?

Menyikapi Musuh: Pelajaran Berharga dari Sebuah Permusuhan