Bahasa Berau: Antara Identitas dan Kelupaan

Sekitar tahun 2013, saya pernah menyampaikan sebuah pertanyaan sederhana kepada seorang teman yang bekerja di Dinas Pendidikan. Bukan lewat surat resmi, hanya melalui pesan singkat. Pertanyaannya begini: “Mengapa tidak ada muatan lokal Bahasa Berau di sekolah-sekolah kita?”

Sayangnya, jawaban yang saya terima tidak menjawab substansi persoalan. Karena tidak menemukan arah diskusi yang jelas, saya memilih menghentikannya di situ.

Beberapa waktu lalu, pertanyaan serupa kembali muncul, kali ini dalam percakapan ringan bersama istri saya. Ia bertanya, “Di Berau nggak diajarkan Bahasa Berau ya?” Saya menjawab dengan jujur, “Tidak.” Bahkan sejak saya duduk di bangku sekolah dasar, hal itu dianggap lumrah. Tidak ada pelajaran khusus untuk bahasa daerah kami sendiri.

Namun benarkah ini sesuatu yang wajar? Atau kita hanya terbiasa dengan kehilangan yang perlahan?

Pertanyaan tersebut memicu renungan yang lebih dalam: Bagaimana jika Bahasa Berau benar-benar punah suatu hari nanti? Kita tidak bisa menutup mata bahwa generasi milenial, dan terlebih lagi Gen Z, semakin jauh dari bahasa daerah mereka. Padahal, bahasa bukan sekadar alat komunikasi, ia adalah penanda identitas budaya yang seharusnya dijaga dan diwariskan.

Saya pernah tinggal di Jawa Barat selama sembilan tahun. Dalam kurun waktu tersebut, saya menyaksikan bagaimana pemerintah daerah sangat serius dalam mempertahankan Bahasa Sunda. Seluruh sekolah, baik negeri maupun swasta, memasukkan pelajaran Bahasa Sunda sebagai muatan lokal. Bahkan beberapa sekolah swasta mengajarkan aksara Sunda.

Hasilnya sangat terasa. Di berbagai lapisan masyarakat, dari berbagai latar belakang suku, Bahasa Sunda tetap hidup. Tak berhenti di pendidikan dasar, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) bahkan membuka jurusan Sastra Sunda hingga jenjang S1 sebagai bagian dari upaya pelestarian. Inisiatif semacam ini menunjukkan komitmen yang kuat, bahwa menjaga bahasa daerah bukan sekadar simbolik, tetapi strategis.

Hal yang sama saya temukan di Jawa Timur. Bahasa Jawa, yang notabene telah menjadi bahasa yang sangat umum di Indonesia, tetap diajarkan secara sistematis di sekolah-sekolah. Meskipun banyak orang di luar Jawa pun bisa sedikit-sedikit berbahasa Jawa, pemerintah daerah tidak mengambil itu sebagai alasan untuk berhenti melestarikannya melalui pendidikan formal.

Lalu bagaimana dengan Berau?

Sebagai kota kelahiran saya, Berau menyisakan tanda tanya besar. Mengapa tidak ada keseriusan yang sama untuk mempertahankan Bahasa Berau? Saya sendiri, yang sudah tinggal di sini selama 34 tahun, tidak pernah benar-benar mengenal bahasa daerah saya sendiri. Bukan karena tidak ingin, tetapi karena tidak pernah diberi akses untuk belajar.

Orang-orang tua sering berkata, “Kalau mau bisa Bahasa Berau, ya sering-sering ngobrol sama orang Berau.” Sekilas terdengar logis, tetapi menurut saya itu bukan pendekatan yang cukup efektif. Di era digital seperti sekarang, kemampuan berbahasa tidak harus selalu bergantung pada interaksi langsung. Banyak orang yang fasih berbahasa Inggris tanpa pernah bertemu penutur aslinya. Saya sendiri bisa memahami Bahasa Inggris dan sedikit Bahasa Mandarin meskipun belum pernah sekalipun bertemu native speaker. Artinya, kunci utamanya adalah akses, bukan pertemuan.

Jika ada kemauan dari pemerintah daerah, Bahasa Berau sangat mungkin dijadikan muatan lokal. Sebagai lulusan sastra, saya tahu bahwa setiap bahasa, tak terkecuali bahasa daerah, bisa diajarkan dengan pendekatan pedagogis yang tepat. Saya pun pernah mempelajari metode mengajar bahasa asing, yang sejatinya bisa diadaptasi untuk pengajaran Bahasa Berau.

Namun barangkali pelestarian bahasa belum menjadi prioritas utama pemerintah daerah saat ini. Anggaran mungkin dianggap lebih penting untuk diarahkan ke sektor-sektor lain yang dinilai lebih mendesak, entah infrastruktur, ekonomi, atau urusan administratif lainnya.

Akan tetapi, jika kita tidak mulai bertindak, kekhawatiran saya sederhana: suatu hari nanti, ketika generasi Alpha tumbuh dewasa, mereka mungkin akan berkata dengan polos, 

“Emang Bahasa Berau ada, ya? Ku kira cuma Bahasa Indonesia. Ku kira Berau itu cuma nama daerah, bukan bahasa. Ku kira berau itu cuma logat.”



Comments

Popular posts from this blog

Bahasa Berau Asli (Banua) di Ambang Kepunahan.

Kamus Bahasa Berau, Apakah Cukup Mempertahankan Bahasa Ini Dari Kepunahan?

Menyikapi Musuh: Pelajaran Berharga dari Sebuah Permusuhan