Mengapa Masjid Dipaksa Harus Berkubah?

Dalam dunia arsitektur, bentuk tidak pernah netral. Ia membentuk perilaku, persepsi, bahkan keyakinan kolektif. Ini semua adalah teori rekayasa arsitektur, atau lebih tepatnya, arsitektur perilaku (architectural behaviorism).

Lalu bagaimana dengan arsitektur masjid?
Sudah saatnya kita membongkar sebuah mitos besar dalam dunia arsitektur Islam: bahwa masjid harus berkubah.
Faktanya, kubah bukanlah warisan asli dari ajaran Islam. Ia bukan bagian dari desain masjid pada masa awal Nabi Muhammad. Kubah mulai melekat pada arsitektur masjid pada masa Dinasti Umayyah dan semakin populer di era Fatimiyah. Inspirasi kubah itu sendiri berasal dari Romawi dan Bizantium, di mana kubah digunakan dalam gereja dan basilika sebagai simbol keagungan dan kehadiran Ilahi. Penggunaan kubah menyebar ke berbagai rumah ibadah termasuk sinagoga dan gereja Timur Ortodoks karena satu alasan teknis utama: kemampuannya memperkuat gema suara.
Di zaman sebelum teknologi suara, struktur kubah adalah solusi akustik canggih. Ia menciptakan efek gema yang membantu suara imam atau pengkhotbah terdengar di seluruh ruangan tanpa pengeras suara. Namun kini, masjid sudah dilengkapi sistem akustik modern dan pengeras suara canggih. Maka, fungsi asli kubah sudah tidak relevan secara teknis.
Namun ironisnya, kubah justru terus dipertahankan sebagai simbol “keislaman”, seolah menjadi syarat sah sebuah masjid. Padahal, ini adalah bentuk asimilasi budaya yang telah disalahpahami. Arsitektur masjid yang seharusnya berkembang secara kontekstual berdasarkan kebutuhan ruang, iklim, dan fungsi malah terbelenggu oleh bentuk-bentuk simbolik yang kehilangan maknanya.
Inilah yang oleh beberapa arsitek disebut sebagai sesat arsitektur. Ketika bentuk menjadi doktrin, bukan solusi. Ketika simbol diutamakan, esensi ditinggalkan. Banyak arsitek muda muslim yang mencoba mendobrak pakem ini, hanya untuk ditolak oleh pengurus masjid yang berpegang pada citra lama: “Kalau tidak berkubah, itu bukan masjid.”
Padahal, masjid adalah tempat sujud. Esensinya bukan pada bentuk kubah, menara, atau ornamen megah, melainkan pada fungsinya sebagai ruang spiritual, sosial, dan kultural bagi umat Islam.
Sudah waktunya kita menyadari bahwa arsitektur Islam tidak harus terkungkung pada bentuk tertentu. Arsitektur Islam yang sejati adalah arsitektur yang adaptif, fungsional, dan kontekstual. Arsitektur yang menyatu dengan kebutuhan zaman, lingkungan, dan masyarakatnya, bukan sekadar meniru bentuk lama tanpa makna.
Jangan lagi ada karya-karya inovatif arsitek muda yang tertolak hanya karena tidak ada kubah. Jangan lagi fungsi kalah oleh simbol. Jangan biarkan ruang suci kita dibentuk oleh mitos visual, bukan oleh makna spiritual.
Arsitektur adalah cermin zaman. Dan masjid, sebagai jantung umat, layak mencerminkan semangat Islam yang dinamis, rasional, dan terus berkembang.
Oke, saya bukan arsitek, tapi di masa-masa pencarian jati diri dulu cukup banyak karya tulis arsitektur saya baca dan desain arsitektur masa lampau yang saya amati. Jadi artikel yang saya tulis ini bukan omong kosong sok tahu. Hanya sebuah uratan kegelisahan dari sarjana Sastra yang pernah terlintas menjadi Arsitek di masa lampau.

Comments

Popular posts from this blog

Bahasa Berau Asli (Banua) di Ambang Kepunahan.

Kamus Bahasa Berau, Apakah Cukup Mempertahankan Bahasa Ini Dari Kepunahan?

Menyikapi Musuh: Pelajaran Berharga dari Sebuah Permusuhan